8.11.11

GANGGUAN KEPRIBADIAN (PERSONALITY DISORDER)


Gangguan Kepribadian adalah istilah umum untuk suatu jenis penyakit mental di mana cara berpikir, memahami situasi, dan berhubungan dengan orang lain tidak berfungsi. Ada banyak jenis spesifik gangguan kepribadian. Secara umum, memiliki gangguan kepribadian berarti memiliki kaku dan berpotensi merusak diri sendiri atau merendahkan diri-pola berpikir dan berperilaku tidak peduli pada situasinya. Hal ini menyebabkan stress dalam hidup atau gangguan dari kemampuan untuk beraktivitas rutin di tempat kerja, sekolah atau situasi sosial lain.
Gangguan-gangguan dalam kategori ini bersumber dari perkembangan kepribadian yang tidak masak dan menyimpang. Kerena mengalami proses perkembangan yang tidak semestinya, individu-individu tertentu memiliki cara pandang, cara pikir dan berhubungan dengan dunia sekelilingnya secara maladaptif. Akibatnya, mereka tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan dalam kasus-kasus tertentu mereka menjadi menderita.
Dalam beberapa kasus, kemungkinan penderita tidak menyadari bahwa mereka memiliki gangguan kepribadian karena cara berpikir dan berperilaku tampak alami bagi si penderita, dan penderita mungkin menyalahkan orang lain atas keadaannya.
Kepribadian adalah kombinasi dari pikiran, emosi dan perilaku yang membuat seseorang unik, berbeda satu sama lain. Ini cara melihat, memahami dan berhubungan dengan dunia luar, dan juga bagaimana seseorang melihat diri sendiri. Bentuk kepribadian selama masa kanak-kanak, dibentuk melalui interaksi dari dua faktor:
  1. Warisan kecenderungan atau gen. Ini adalah aspek kepribadian yang diturunkan kepada seseorag dari oleh orang tua, seperti rasa malu atau pandangan terhadap kebahagiaan. Hal ini kadang-kadang disebut temperamen bersifat "alami" dan merupakan bagian dari pola asuh dan "konflik". 
  2. Lingkungan, atau situasi kehidupan. Lingkungan tempat seseorang dibesarkan, hubungan dengan anggota keluarga dan orang lain juga turut berpengaruh dalam pembentukan kepribadian. Ini mencakup beberapa hal seperti jenis pola pengasuhan yang dialami seseorangapakah itu dengan penuh cinta atau kekerasan.
Gangguan kepribadian dianggap disebabkan oleh kombinasi genetik dan pengaruh lingkungan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa memiliki kerentanan genetik untuk mengembangkan sebuah gangguan kepribadian dan situasi kehidupan dapat memicu perkembangan gangguan kepribadian.
Ada tiga kelompok gangguan utama dalam kategori ini, yaitu gangguankepribadian, kepribadian antisosial, dan perilaku kriminal.
GANGGUAN KEPRIBADIAN
Penderita jenis gangguan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Hubungan pribadinya dengan orang lain terganggu, dalam arti sikap dan perilakunya cenderung merugikan orang lain. 
  2. Memandang bahwa kesulitannya disebabkan oleh nasib buruk atau perbuatan jahat orang lain. Dengan kata lain, penderita gangguan ini tidak pernah merasa bersalah. 
  3. tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap orang lain: bersikap manipulatif atau senang mengakali, mementingkan diri sendiri, tidak punya rasa bersalah, dan tidak mengenal rasa sesal bila mencalakakan orang lain. 
  4. Celakanya, orang ini tidak pernah dapat melepaskan diri dari pola tingkah lakunya yang maladaptif itu. 
  5. Selalu menghindari tanggung jawab atas masalah-masalah yang mereka timbulkan.
Selain itu, gangguan ini lebih merupakan gangguan terhadapa nama baik si penderita (disorders of reputation). Artinya, masalahnya lebih berupa akibat tidak menyenangkan dari tindakan sipenderitan terhadap orang lain, bukan berupa penderitaan yang harus ditanggung oleh yang bersangkutan, seperti misalnya pada kasus neurosis. Dalam kasus neurosis, yang menderita dan merasa tidak bahagia adalah penderita itu sendiri. Sebaliknya dalam gangguan kepribadian ini yang menjadi korban perbuatan tidak bertanggung jawab dari si penderita. Penderita sendiri hanya mengalami reputasi yang buruk, yang bagi penderita gangguan ini sama sekali bukan soal.
Beberapa jenis gangguan kepribadian yang cukup menonjol adalah kepribadian paranoid-skizoid-skizotipe, kepribadian histrionik-narcisistik-antisosial, dan kepribadian aviodan-tergantung-kompulsif-agresif pasif.
a. Kepribadian Paranoid, Skizoid, dan Skizotipe
Penderita ketiga jenis gangguan ini berperilaku eksentrik, ditambah beberapa kekhususan sebagai berikut: 
  1. Kepribadian Paranoid memiliki ciri-ciri tambahan: serba curiga; hipersensitif atau sangat perasa; rigid atau kaku; mudah iri; sangat egois; argumentatif atau suka menentang; suka menyalahkan orang lain; suka menuduh orang lain jahat. 
  2. Kepribadian Skizoid memiliki ciri-ciri khas: tidak mampu dan menghindari menjalin hunbungan sosial; terkesan dingin dan tidak akrab atau tidak ramah; tidak terampil bergaul dan suka menyendiri. 
  3. Kepribadian Skizotipe memiliki ciri-cri khas: suka menyendiri; suka menghindari oang lain; egosentrik; dihantui oleh pikiran-pikiran autistik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain selain oleh dirinya sendiri, dan takhayul-takhayul; dan amat perasa.
b. Gangguan Kepribadian Historik, Narcisistik, dan Antisosial
Penderita ketiga jenis gangguan ini memiliki ciri umum berperilaku dramatik atau penuh aksi serba menonjolkan diri, emosional, dan eratik atau aneh-aneh, di samping beberapa ciri khusus sebagai berikut: 
  1. Kepribadian Histrionik: tidak matang; emosinya labil; haus akan hal-hal yang serba menggairahkan (excitement); senang mendramatisasi diri secara berlebihan untuk mencari perhatian; penyesuaian seksual dan hubungan pribadinya kacau; tergantung, tak berdaya, dan mudah ditipu; egois, congkak, sangat haus akan pengukuhan orang lain; sangat reaktif; dangkal atau picik, dan tudal tulus. 
  2. Kepribadian Narcisistik: merasa diri penting dan haus akan perhatian dari orang lain; selalu menuntut perhatian dan perlakuan istimewa dari orang lain; sangat peka pada pandangan orang lain terhadap dirinya (harga dirinya rapuh); bersikap exploitatif: memikirkan kepentingannya sendir, mangabaikan hak dan perasaan orang lain. 
  3. Kepribadian Antisosial: selalu melanggar hak orang lain lewat perilaku agresif, antisosial, dan tanpa rasa sesal; tidak sedikit diantara penderita cukup cerdas dan pandai menampilkna diri secara meyakinkan untuk menjadi penipu ulung.
c. Gangguan Kepribadian Avoidan, Tergantung, Kompulsif, dan Agrasif Pasif
Penderita dalam kategori ini memiliki ciri umum diliputi kecemasan dan rasa takut, sehingga kadang-kadang susah dibedakan dari penderita neurosis, ditambah ciri-ciri khusus sebagai berikut: 
  1. Kepribadian Avoidan tau menghindar: sangat peka terhadap penolakan atau hinaan orang lain; cenderung mudah mempersepsikan olok-olokan atau pelecehan yang belum tentu benar; pergaulan sempit dan segan emnjalin pergaulau; takut bergaul dengan orang lain disebabkan takut untuk dikritik atau ditolak, kendati sering merasa butuh afeksi dari orang lain dan merasa sepi; merasa sedih karena tidak punya teman, dan ketidakmampuan bergaul tersebut menjadi sumber kesusahan dan penyebab harga dirinya yang rendah. 
  2. Kepribadian Tergantung: sangat tergantung pada orang lain dan merasa tidak berdaya, kendati sesungguhnya tidak demikian; dapat berfungsi baik sepanjang tidak dituntut melakukan sesuatu seorang diri. 
  3. Kepribadian Kompulsif: memiliki perhatian yang berlebihan pada aturan-atiran, ketertiban, efisiensi, dan pada pekerjaan; menginginkan semua orang bekerja seperti dirinya; tidak mampu mengungkapkan sikap dan perasaan hangat; perilakunya serba terhambat, sangat perasa, namun juga sangat rajin; kepribadiannya kaku; sulit untuk bersantai; sangat memperhatikan hal kecil-kecil; dan sangat sulit membagi waktu. 
  4. Kepribadian Agresif-pasif. Simtom ini sesungguhnya merupakan sikap bermusuhan yang diungkapkan lewat cara-cara yang bersifat tidak langsung dan bukan melalui kekerasan. Sebagai contoh, untuk mengungkapkan kebenciannya pada majikan yang lalim, seorang pembantu sengaja senang menangguhkan atau menghambat-hambat pelaksanaan pekerjaan, bersikap keras kepala, sengaja bekerja tidak efisien, dan sebagainya. Beberapa ciri khasnya adalah: tidak suka patuh pada tuntutan orang lain; benci pada figur otoritas, tetapi takut menyatakan atau mengungkapkannya (tidak asertif).
Gangguan-gangguan ini diduga dapat disebabkan oleh faktor bawaan (masih hipotesis); faktor psikososial, seperti pola hubungan keluarga yang patogenik; dan faktor sosiokultural, seperti munculnya sistem nilai dan pola perilaku tertentu yang jauh berbeda dari yang lazim berlaku di masyarakat akibat kondisi kemiskinan. Misalnya, dalam bentuk standar yang sangat longgar tentang kejujuran, tanggung jawab sosial, dan sebagainya.
Penderita aneka jenis gangguan ini biasanya sulit ditangani untuk ditolong. Mereka harus dipaksa. Usaha memberikan pertolongan biasanya lebih efektif bila dilakukan dalam lingkungan tertentu yang membatasi runga gerak penderita, misalnya di penjara atau pusat rehabilitasi lainnya. Penanganan di luar jarang berhasil.
GANGGUAN KEPRIBADIAN MENURUT DSM-IV-TR
Kelompok A (odd/eccentric cluster)
Terdiri dari gangguan kepribadian paranoid, schizoid, dan schizotypal. Individu dalam kelompok ini menampilkan perilaku yang aneh dan eksentrik.
Kelompok B (dramatic/erratic cluster)
Terdiri dari gangguan kepribadian antisosial, borderline, histrionic, dan narcissistic. Individu dalam kelompok ini menampilkan perilaku yang dramatik atau berlebih-lebihan, emosional dan eratik (tidak menentu atau aneh).
Kelompok C (anxious/fearful cluster)
Terdiri dari gangguan kepribadian avoidant, dependent, dan obsessive- compulsive. Individu dalam kelompok ini menampilkan perilaku cemas dan ketakutan.
A. KELOMPOK A (ODD/ECCENTRIC CLUSTER)
Paranoid Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Paranoid)
Individu yang mengalami gangguan kepribadian paranoid biasanya ditandai dengan adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan yang kuat terhadap orang lain. Mereka juga diliputi keraguan yang tidak beralasan terhadap kesetiaan orang lain atau bahwa orang lain tersebut dapat dipercaya.
Orang-orang yang mengalami gangguan ini merasa dirinya diperlakukan secara salah dan dieksploitasi oleh orang lain sehingga berperilaku selalu waspada terhadap orang lain.
Mereka sering kali kasar dan mudah marah terhadap apa yang mereka anggap sebagai penghinaan. Individu semacam ini enggan mempercayai orang lain dan cenderung menyalahkan mereka serta menyimpan dendam meskipun bila ia sendiri juga salah. Mereka sangat pencemburu dan tanpa alasan dapat mempertanyakan kesetiaan pasangannya.
Individu dengan gangguan ini tidak mampu terlibat secara emosional dan menjaga jarak dengan orang lain, mereka tidak hangat. Gangguan kepribadian paranoid paling banyak terjadi pada kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Gangguan ini banyak dialami bersamaan dengan gangguan kepribadian schizotipal, borderline, dan avoidant. Prevalensi pada gangguan ini adalah berkisar 2 persen dari populasi pada umumnya.
Gangguan paranoid memiliki perbedaan diagnosis dengan skizofrenia, karena pada gangguan paranoid tidak muncul simtom halusinasi dan delusi. Perbedaannya dengan gangguan borderline adalah gangguan paranoid lebih sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Sedangkan perbedaannya dengan gangguan antisosial adalah paranoid tidak memiliki sejarah antisosial. Perbedaannya dengan schizoid adalah gangguan ini tidak memiliki ide-ide paranoid atau tidak memiliki kecurigaan.
Schizoid Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Skizoid)
Individu yang mengalami gangguan ini tidak menginginkan atau menikmati hubungan sosial dan biasanya tidak memiliki teman akrab. Mereka tampak tumpul, datar, dan menyendiri serta tidak memiliki perasaan yang hangat dan tulus terhadap orang lain. Mereka jarang memiliki emosi kuat, tidak tertarik pada hubungan seks, serta bersikap masa bodoh terhadap pujian, kritik, dan perasaan orang lain. Individu yang mengalami gangguan ini adalah seorang penyendiri dan menyukai kegiatan yang dilakukan sendirian.
Individu dengan gangguan kepribadian skizoid menampilkan perilaku menarik diri, mereka merasa tidak nyaman bila berinteraksi dengan orang lain, cenderung introvert. Mereka terlihat sebagai individu yang eksentrik, terkucil, dingin, dan penyendiri. Dalam kesehariannya, individu lebih menyenangi kegiatan yang tidak melibatkan orang lain dan berhasil pada bidang-bidang yang tidak melibatkan orang lain. Prevalensi gangguan skizoid diperkirakan 7,5 persen dari populasi. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan diperkirakan 2 : 1 untuk laki-laki.
Schizotypal Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Skizotipal)
Individu dengan gangguan kepribadian skizotipal biasanya memiliki kepercayaan yang aneh. Mereka memiliki pemikiran yang ajaib/aneh (magical), ide-ide yang ganjil, ilusi, dan derealisasi yang mereka tampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Individu dengan gangguan ini memiliki masalah dalam berpikir dan berkomunikasi. Dalam pembicaraan, mereka dapat menggunakan kata-kata dengan cara yang tidak umum dan tidak jelas sehingga hanya diri mereka saja yang mengerti artinya.
Dari perilaku dan penampilan, mereka juga tampak eksentrik. Sebagai contoh, mereka berbicara kapada diri sendiri dan memakai pakaian yang kotor serta kusut. Ciri yang umum terjadi adalah ideas of reference (keyakinan bahwa berbagai kejadian memiliki makna khusus dan tidak biasa bagi orang yang bersangkutan), kecurigaan, dan pikiran paranoid. Mereka pun memiliki kemampuan yang rendah dalam berinteraksi dengan orang lain dan kadang kala bertingkah laku aneh sehingga akhirnya mereka sering kali terkucil dan tidak memiliki banyak teman.
Prevelensi gangguan ini diperkirakan kurang dari 1 persen. Gangguan kepribadian skizotipal lebih banyak muncul pada keluarga yang memiliki penderita skizofrenia. Gangguan kepribadian skizotipal adalah titik awal dari skizofrenia. Walaupun sama-sama muncul simtom halusinasi, namun perbedaan gangguan ini dengan gangguan skizofrenia adalah halusinasi pada skizotipal biasanya berlangsung dalam waktu singkat.
Etiologi Kelompok A
Berbagai studi tentang keluarga memberikan beberapa bukti bahwa gangguan kepribadian kelompok A berhubungan dengan skizofrenia. Pada gangguan skizotipal, pasien mengalami kelemahan kognitif dan kurangnya fungsi neuropsikologis yang sama dengan terjadinya skizofrenia. Selain itu, pasien dengan gangguan kepribadian skizotipal memiliki rongga otak yang lebih besar dan lebih sedikit bagian abu-abu di lobus temporalis.
B. KELOMPOK B (DRAMATIC/ERRATIC CLUSTER)
Borderline Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Ambang)
Disebut dengan kepribadian ambang (borderline) karena berada di perbatasan antara gangguan neurotik dan skizofrenia. Ciri-ciri utama gangguan ini adalah impulsivitas dan ketidakstabilan dalam hubungan dengan orang lain dan memiliki mood yang selalu berubah-ubah. Contohnya, sikap dan perasaan terhadap orang lain dapat berubah-ubah secara signifikan dan aneh dalam kurun waktu yang singkat. Individu yang mengalami gangguan borderline memiliki karakter argumentatif, mudah tersinggung, sarkastik, cepat menyerang, dan secara keseluruhan sangat sulit untuk hidup bersama mereka.
Perilaku mereka yang tidak dapat diprediksi dan impulsif, boros, aktivitas seksual yang tidak pandang bulu, penyalahgunaan zat, dan makan berlebihan, berpotensi merusak diri sendiri. Mereka tidak tahan berada dalam kesendirian, memiliki rasa takut diabaikan, dan menuntut perhatian. Mudah mengalami perasaan depresi dan perasaan hampa yang kronis, mereka sering kali mencoba bunuh diri.
Gangguan kepribadian borderline bermula pada masa remaja atau dewasa awal, dengan prevelensi sekitar 1 persen, dan lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki.
Etilogi Gangguan Kepribadian Borderline
Penyebab terjadinya gangguan kepribadian borderline antara lain dapat dijelaskan oleh kedua pandangan berikut:
a) Faktor biologis
Faktor-faktor biologis antara lain disebabkan oleh faktor genetis. Gangguan kepribadian borderline dialami oleh lebih dari satu anggota dalam satu keluarga. Beberapa data menunjukkan adanya kelemahan fungsi lobus frontalis, yang sering diduga berperan dalam perilaku impulsif. Individu dengan gangguan borderline mengalami peningkatan aktivasi amigdala, suatu struktur dalam otak yang dianggap sangat penting dalam pengaturan emosi.
b) Object Relations Theory
Teori ini merupakan teori dari psikoanalisa yang memfokuskan diri pada bagaimana cara anak mengintroyeksikan nilai-nilai dan gambaran yang berhubungan dengan orang-orang yang dianggap penting dalam hidupnya, misalnya orang tua. Dengan kata lain, fokus dari teori ini adalah cara anak mengidentifikasikan diri dengan orang lain di mana ia memiliki emotional attachment yang kuat dengan orang tersebut. Orang-orang yang diintroyeksikan tersebut menjadi bagian dari ego si anak pada masa dewasa, tetapi dapat menimbulkan konflik dengan harapan, tujuan, dan ideal-idealnya.
Teori ini beranggapan bahwa individu bereaksi terhadap dunia melalui perspektif dari orang-orang penting dalam hidupnya pada masa lalu, terutama orang tua atau caregiver. Terkadang perspektif tersebut berlawanan harapan dan minat dari individu yang bersangkutan. Otto Kernberg, salah seorang tokoh dalam teori ini menyatakan bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa kanak-kanak, misalnya mempunyai orang tua yang memberikan cinta dan perhatian secara tidak konsisten (menghargai prestasi anak, tetapi tidak dapat memberikan dukungan emosional dan kehangatan), dapat menyebabkan anak mengembangkan insecure egos (bentuk umum dari gangguan kepribadian borderline).
Individu dengan gangguan kepribadian borderline sering kali mengembangkan mekanisme defense yang disebut splitting, yaitu mendikotomikan objek menjadi semuanya baik atau semuanya buruk dan tidak dapat mengintegrasikan aspek positif dan negatif orang lain atau diri menjadi suatu keutuhan. Hal itu menimbulkan kesulitan yang ekstrem dalam meregulasi emosi karena individu borderline melihat dunia, termasuk dirinya sendiri, dalam dikotomi hitam-putih. Bagaimanapun juga, defense ini melindungi ego yang lemah dari kecemasan yang tidak dapat ditoleransi.
Beberapa hasil penelitian juga mendukung teori ini. Individu yang mengalami gangguan kepribadian borderline menyatakan kurangnya kasih sayang dari ibu. Mereka memandang keluarga mereka tidak ekspresif secara emosional, tidak memiliki kedekatan emosional, dan sering terjadi konflik dalam keluarga. Selain itu, mereka biasanya juga mengalami kekerasan seksual dan fisik serta sering mengalami perpisahan dengan orang tua pada masa kanak-kanak.
Bagaimanapun juga, hasil-hasil penelitian tersebut masih belum dapat menyatakan secara jelas apakah pengalaman-pengalaman itu memang hanya dialami oleh mereka dengan gangguan kepribadian borderline saja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa individu yang mengalami gangguan kepribadian borderline mempunyai pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan. Namun belum jelas apakah pengalaman tersebut bersifat spesifik bagi gangguan ini.
c) Linehan’s Diathesis-Stress Theory
Menurut teori ini, gangguan kepribadian borderline berkembang ketika individu dengan diatesis biologis (kemungkinan genetis) di mana ia mengalami kesulitan untuk mengontrol emosi, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang salah (invalidating). Dalam teori ini, diatesis biologis disebut sebagai emotional dysregulation. Sedangkan invalidating experience adalah pengalaman di mana keinginan dan perasaan individu diabaikan dan tidak dihormati; usaha individu untuk mengkomunikasikan perasaannya tidak dipedulikan atau bahkan diberi hukuman. Salah satu contoh ekstremnya adalah kekerasan pada anak, baik secara seksual maupun nonseksual. Dengan kata lain, emotional dysregulation saling berinteraksi dengan invalidate experience anak yang sedang berkembang. Hal itulah yang kemudian memicu perkembangan kepribadian borderline.
Histrionic Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Histrionik)
Gangguan kepribadian histrionik sebelumnya dikenal disebut kepribadian histerikal, ditegakkan bagi orang-orang yang selalu dramatis dan mencari perhatian. Mereka sering kali menggunakan ciri-ciri penampilan fisik yang dapat menarik perhatian orang kepada dirinya, misalnya pakaian yang mencolok, tata rias, atau warna rambut. Mereka berpusat pada diri sendiri, terlalu mempedulikan daya tarik fisik mereka, dan merasa tidak nyaman bila tidak menjadi pusat perhatian. Mereka dapat sangat provokatif dan tidak senonoh secara seksual tanpa mempedulikan kepantasan serta mudah dipengaruhi orang lain.
Diagnosis ini memiliki prevelensi sekitar 2 persen dan lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Gangguan kepribadian histrionik lebih banyak terjadi pada mereka yang mengalami perpisahan atau perceraian, dan hal ini diasosiasikan dengan depresi dan kesehatan fisik yang buruk. Gangguan ini sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian borderline.
Etiologi Gangguan Kepribadian Histrionik
Gangguan ini dijelaskan berdasarkan pendekatan psikoanalisa. Perilaku emosional dan ketidaksenonohan secara seksual didorong oleh ketidaksenonohan orang tua, terutama ayah terhadap anak perempuannya. Kebutuhan untuk menjadi pusat perhatian dipandang sebagai cara untuk mempertahankan diri dari perasaan yang sebenarnya yaitu self-esteem yang rendah.
Narcissistic Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Narsistik)
Individu dengan gangguan kepribadian narsistik memiliki pandangan berlebihan mengenai keunikan dan kemampuan mereka. Mereka merasa bahwa dirinya spesial dan berharap mendapatkan perlakuan yang khusus pula. Oleh sebab itu, mereka sulit menerima kritik dari orang lain. Hubungan interpersonal mereka terhambat karena kurangnya empati, perasaan iri, dan arogansi, dan memanfaatkan/menghendaki orang lain melakukan sesuatu yang istimewa untuk mereka tanpa perlu dibalas. Individu pada gangguan ini sangat sensitif terhadap kritik dan takut akan kegagalan. Terkadang mereka mencari sosok lain yang dapat mengidealkan karena mereka kecewa terhadap diri sendiri, tetapi mereka biasanya tidak mengizinkan siapa pun untuk benar-benar berhubungan dekat dengan mereka.
Hubungan personal mereka sedikit dan dangkal; ketika orang lain menjatuhkan harapan mereka yang tidak realistis, mereka akan marah dan menolak. Prevelensi gangguan ini kurang dari 1 persen.
Etiologi Gangguan Kepribadian Narsistik
Penyebab gangguan kepribadian narsistik dapat dipandang dari segi psikoanalisa. Orang yang mengalami gangguan ini dari luar tampak memiliki perasaan yang luar biasa akan pentingnya dirinya. Namun dipandang dari psikoanalisa, karakteristik tersbut merupakan topeng bagi self-esteem yang rapuh.
Menurut Heinz Kohut, self muncul pada awal kehidupan sebagai struktur bipolar dengan immature grandiosity pada satu sisi dan overidealisasi yang bersifat dependen di sisi lain. Kegagalan mengembangkan self-esteem yang sehat terjadi bila orang tua tidak merespons dengan baik kompetensi yang ditunjukkan oleh anak-anaknya. Dengan demikian, anak tidak bernilai bagi harga diri mereka sendiri, tetapi bernilai sebagai alat untuk meningkatkan self-esteem orang tua.
Antisocial Personality Disorder and Psychopathy (Gangguan Kepribadian Antisosial dan Psikopati)
Orang dewasa yang mengalami gangguan antisosial menunjukkan perilaku tidak bertanggung jawab dan antisosial dengan bekerja secara tidak konsisten, melanggar hukum, mudah tersinggung, agresif secara fisik, tidak mau membayar hutang, sembrono, ceroboh, dan sebagainya. Mereka impulsif dan tidak mampu membuat rencana ke depan. Mereka sedikit atau bahkan tidak merasa menyesal atas berbagai tindakan buruk yang mereka lakukan. Gangguan ini lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dan lebih banyak terjadi di kalangan anak muda daripada dewasa yang lebih tua. Gangguan ini lebih umum terjadi pada orang dengan status sosioekonomi rendah.
Sementara itu, salah satu karakteristik psychopathy adalah kemiskinan emosi, baik positif maupun negatif. Orang-orang psychopathy tidak memiliki rasa malu, bahkan perasaan mereka yang tampak positif terhadap orang lain hanyalah sebuah kepura-puraan. Penampilan psikopat menawan dan memanipulasi orang lain untuk memperoleh keuntungan pribadi. Kadar kecemasan yang rendah membuat psikopat tidak mungkin belajar dari kesalahannya. Kurangnya emosi positif mendorong mereka berperilaku secara tidak bertanggung jawab dan berperilaku kejam terhadap orang lain.
Etiologi Gangguan Kepribadian Antisosial dan Psychopathy
Penyebab gangguan ini berkaitan dengan peran keluarga. Kurangnya afeksi dan penolakan berat orang tua merupakan penyebab utama perilaku psychopathy. Selain itu, juga disebabkan oleh tidak konsistennya orang tua dalam mendisiplinkan anak dan dalam mengajarkan tanggung jawab terhadap orang lain. Orang tua yang sering melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya dapat menyebabkan gangguan ini. Gangguan ini juga dapat disebabkan oleh kehilangan orang tua. Di samping itu, ayah dari penderita psikopat kemungkinan memiliki perilaku antisosial. Faktor lingkungan di sekitar individu yang buruk juga dapat menyebabkan gangguan ini
C. KELOMPOK C (ANXIOUS/FEARFUL CLUSTER)
Seperti yang telah disebutkan, kelompok ini terbagi menjadi tiga gangguan kepribadian, yaitu:
  1. Avoidant personality disorder, yaitu gangguan pada individu yang memiliki ketakutan dalam situasi sosial. 
  2. Dependent personality disorder, yaitu gangguan pada individu yang kurang percaya diri dan sangat bergantung pada orang lain.
  3. Obsessive-compulsive personality disorder, yaitu gangguan pada individu yang mempunyai gaya hidup yang perfeksionis. 
  4. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih rinci tentang ketiga gangguan kepribadian tersebut.
Avoidant Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Menghindar)
Individu dengan gangguan ini adalah individu yang memiliki ketakutan yang besar akan kemungkinan adanya kritik, penolakan atau ketidaksetujuan, sehingga merasa enggan untuk menjalin hubungan, kecuali ia yakin bahwa ia akan diterima.
Individu tersebut bahkan terkadang menghindari pekerjaan yang banyak memerlukan kontak interpersonal. Dalam situasi sosial, ia sangat mengendalikan diri (kaku) karena sangat amat takut mengatakan sesuatu yang bodoh atau dipermalukan atau tanda-tanda lain dari kecemasan. Ia merasa yakin bahwa dirinya tidak kompeten dan inferior, serta tidak berani mengambil risiko atau mencoba hal-hal baru.
Berdasarkan DSM-IV-TR, kriteria dari avoidant personality disorder adalah sebagai berikut:
  1. Penghindaran terhadap kontak interpersonal karena takut kritik dan penolakan. 
  2. Ketidakmampuan untuk terlibat dengan orang lain kecuali ia merasa yakin akan disukai atau diterima. 
  3. Kekakuan dalam hubungan yang intim karena takut dipermalukan atau dicemooh. 
  4. Perhatian yang berlebihan terhadap kritik atau penolakan. 
  5. Perasaan tidak mampu. 
  6. Perasaan inferior. 
  7. Keengganan yang ekstrem untuk mencoba hal-hal baru karena takut dipermalukan.
Prevalensi dari gangguan ini sekitar 5 persen dan sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian dependen dan borderline. Avoidant personality disorder juga sering bercampur dengan diagnosis Axis I depresi dan generalized social phobia. Gangguan ini memiliki gejala yang serupa dengan generalized social phobia, tetapi gangguan ini sebenarnya merupakan jenis generalized social phobia yang lebih kronik.
Baik avoidant personality disorder atau social phobia berhubungan dengan gejala yang muncul di Jepang, yang disebut dengan taijin kyoufu. ”Taijin” berarti interpersonal dan ”kyoufu” berarti takut. Seperti pada avoidant personality disorder dan social phobia, individu yang mengalami taijin kyoufu sangat sensitif dan menghindari kontak interpersonal. Namun, hal yang ditakuti berbeda dengan hal-hal yang umumnya ditakuti pada diagnosis DSM. Individu dengan taijin kyoufu cenderung cemas atau malu tentang bagaimana ia mempengaruhi atau tampak di depan orang lain, misalnya takut bahwa mereka tampak jelek atau bau.
Dependent Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Dependen)
Ciri utama dari gangguan kepribadian dependen adalah kurangnya rasa percaya diri dan otonomi. Individu dengan gangguan kepribadian ini memandang dirinya lemah dan orang lain lebih kuat. Ia juga memiliki kebutuhan yang kuat untuk diperhatikan atau dijaga oleh orang lain yang sering kali menyebabkan munculnya perasaan tidak nyaman ketika sendirian. Ia mengesampingkan kebutuhannya sendiri untuk meyakinkan bahwa ia tidak merusak hubungan yang telah terjalin dengan orang lain. Ketika hubungan dekat berakhir, individu yang mengalami gangguan ini segera berusaha menjalin hubungan lain untuk menggantikan hubungan yang telah berakhir tersebut.
Kriteria dalam DSM pada umumnya mendeskripsikan individu yang mengalami gangguan kepribadian dependen sebagai orang yang sangat pasif, misalnya memiliki kesulitan dalam memulai sesuatu atau mengerjakan sesuatu sendiri, tidak mampu menolak, dan meminta orang lain mengambil keputusan untuk dirinya. Bagaimanapun juga, penelitian mengindikasikan bahwa sifat-sifat pasif tersebut tidak mencegah individu melakukan hal-hal penting untuk menjaga hubungan dekat, misalnya menjadi sangat penurut dan pasif, tetapi dapat juga mengambil langkah aktif untuk menjaga hubungan.
Berdasarkan DSM-IV-TR, kriteria gangguan kepribadian dependen yaitu sebagai berikut:
  1. Kesulitan dalam mengambil keputusan tanpa nasihat dan dukungan yang berlebihan dari orang lain. 
  2. Kebutuhan terhadap orang lain untuk memikul tanggung jawab dalam hidupnya. 
  3. Kesulitan dalam mengatakan atau melakukan penolakan terhadap orang lain karena takut kehilangan dukungan dari orang lain. 
  4. Kesulitan dalam melakukan atau mengerjakan sesuatu sendiri karena kurang percaya diri. 
  5. Melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan baginya sebagai cara untuk memperoleh penerimaan dan dukungan dari orang lain. 
  6. Perasaan tidak berdaya ketika sendiri karena kurang percaya pada kemampuan diri dalam menyelesaikan sesuatu tanpa bantuan orang lain. 
  7. Segera mencari hubungan baru ketika hubungan yang sedang terjalin telah berakhir. 
  8. Sangat ketakutan untuk mengurus atau menjaga diri sendiri.
Prevalensi dari gangguan ini adalah sekitar 1,5 persen, lebih banyak ditemukan di India dan Jepang. Hal itu kemungkinan dikarenakan lingkungan di kedua negara tersebut yang memicu perilaku dependen. Gangguan kepribadian ini muncul lebih banyak pada wanita daripada pria, kemungkinan karena perbedaan pengalaman sosialisasi pada masa kanak-kanak antara wanita dan pria. Gangguan kepribadian dependen sering kali muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian borderline, skizoid, histrionik, skizotipal, dan avoidant, sama seperti diagnosis Axis I gangguan bipolar, depresi, gangguan kecemasan, dan bulimia.
Obsessive-Compulsive Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif)
Individu dengan obsessive-compulsive personality bersifat perfeksionis, sangat memperhatikan detail, aturan, jadwal, dan sebagainya. Individu yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif sangat memperhatikan detail sehingga kadang ia tidak dapat menyelesaikan hal yang dikerjakannya. Ia lebih berorientasi pada pekerjaan daripada bersantai-santai dan sangat sulit mengambil keputusan karena takut membuat kesalahan. Selain itu, ia juga sangat sulit mengalokasikan waktu karena terlalu memfokuskan diri pada hal-hal yang tidak seharusnya. Biasanya ia memiliki hubungan interpersonal yang kurang baik karena keras kepala dan meminta segala sesuatu dilakukan sesuai dengan keinginannya. Istilah yang umum digunakan sebagai julukan bagi individu seperti itu adalah “control freak”. Individu dengan gangguan kepribadian ini pada umumnya bersifat serius, kaku, formal dan tidak fleksibel, terutama berkaitan dengan isu-isu moral. Ia tidak mampu membuang objek yang tidak berguna, walaupun objek tersebut tidak bernilai. Di samping itu, ia juga pelit atau kikir.
Berdasarkan DSM-IV-TR, kriteria dependent personality disorder yaitu sebagai berikut:
  1. Sangat perhatian terhadap aturan dan detail secara berlebihan sehingga poin penting dari aktivitas hilang. 
  2. Perfeksionisme yang ekstrem pada tingkat di mana pekerjaan jarang terselesaikan. 
  3. Ketaatan yang berlebihan terhadap pekerjaan sehingga mengesampingkan waktu senggang dan persahabatan. 
  4. Kekakuan dalam hal moral. 
  5. Kesulitan dalam membuang barang-barang yang tidak berguna. 
  6. Tidak ingin mendelegasikan pekerjaan kecuali orang lain megacu pada satu standar yang sama dengannya. 
  7. Kikir atau pelit. 
  8. Kaku dan keras kepala.
Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif agak berbeda dengan gangguan obsesif kompulsif. Pada gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, tidak terdapat obsesi dan kompulsi seperti pada gangguan obsesif-kompulsif. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif paling sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian avoidant dan memiliki prevalensi sekitar 2 persen.
Etiologi Kelompok C
Tidak banyak data yang menjelaskan penyebab dari gangguan kepribadian kelompok anxoius/fearful. Salah satu penyebab yang memungkinkan adalah hubungan antara orang tua dan anak. Sebagai contoh, gangguan kepribadian dependen disebabkan oleh pola asuh yang overprotektif dan authoritarian, sehingga menghambat berkembangnya self-efficacy.
Di samping itu, gangguan kepribadian dependen juga dapat disebabkan oleh masalah attachment. Pada masa kanak-kanak, anak mengembangkan attachment terhadap orang dewasa dan menggunakan orang dewasa tersebut sebagai dasar yang aman untuk mengeksplorasi dan mengejar tujuan lain. Perpisahan dari orang dewasa dapat menimbulkan kemarahan dan distress. Seiring dengan proses perkembangan, anak tersebut kemudian menjadi tidak terlalu dependen pada figur attachment. Pada attachment yang tidak normal, perilaku yang dapat dilihat pada individu yang mengalami gangguan kepribadian dependen merefleksikan kegagalan dalam proses perkembangan yang biasanya, yang muncul dari gangguan pada hubungan awal antara orang tua dan anak yang disebabkan oleh kematian, pengabaian, penolakan, atau pengasuhan yang overprotektif.
Individu yang mengalami gangguan ini menggunakan berbagai cara untuk menjaga hubungan dengan orang tua atau orang lain, misalnya dengan selalu menuruti mereka. Sedangkan gangguan kepribadian avoidant kemungkinan merefleksikan pengaruh lingkungan, di mana anak diajarkan untuk takut pada orang dan situasi yang pada umumnya dianggap tidak berbahaya. Misalnya ayah atau ibu memiliki ketakutan yang sama, yang kemudian diturunkan pada anak melalui modeling. Kenyataan bahwa gangguan ini terjadi di keluarga, dapat mengindikasikan adanya peran faktor genetik.
Freud berpendapat bahwa obsessive-compulsive personality traits disebabkan oleh fiksasi pada tahap awal dari perkembangan psikoseksual. Sedangkan teori psikodinamik kontemporer menjelaskan bahwa gangguan kepribadian obsesif-kompulsif disebabkan oleh ketakutan akan hilangnya kontrol yang diatasi dengan overkompensasi. Sebagai contoh, seorang pria workaholic yang kompulsif kemungkinan takut bahwa hidupnya akan hancur jika ia bersantai-santai dan bersenang-senang.
TERAPI UNTUK GANGGUAN KEPRIBADIAN
Terapi psikodinamik bertujuan untuk mengubah pandangan individu saat ini tentang masalah-masalah pada masa kanak-kanak yang diasumsikan menjadi penyebab dari gangguan kepribadian, misalnya terapis membimbing individu yang mengalami gangguan kepribadian obsesif-kompulsif pada kenyataan bahwa pencarian kasih sayang dari orang tua pada masa kanak-kanak dengan cara menjadi sempurna tidak perlu dilakukan pada masa dewasa. Ia tidak harus menjadi sempurna untuk memperoleh penerimaan dari orang lain, sehingga ia berani mengambil risiko dan membuat kesalahan.
Terapis behavioral dan kognitif lebih menekankan perhatian pada faktor situasi daripada sifat. Terapis behavioral dan kognitif cenderung menganalisa masalah individu yang merefleksikan gangguan kepribadian. Sebagai contoh, individu yang didiagnosa memiliki kepribadian paranoid atau avoidant bersifat sangat sensitif terhadap kritik. Sensitivitas tersebut dapat dikurangi dengan behavioral rehearsal (social skills training), systematic desentizitation, atau rational-emotive behavior therapy. Contoh lain dapat dilihat pada individu dengan kepribadian paranoid yang bersifat hostile dan argumentatif ketika menyatakan ketidaksetujuan atau penolakan terhadap orang lain.
Dalam hal ini, terapis behavior dapat membantu individu paranoid belajar untuk mengutarakan ketidaksetujuan dalam cara yang lebih baik. Bagi mereka dengan kepribadian avoidant, social-skills training dalam suatu kelompok dapat membantu mereka untuk lebih asertif terhadap orang lain.
Pada terapi kognitif, gangguan dianalisa dalam hubungannya dengan logical errors dan dysfunctional schemata. Misalnya, pada terapi kognitif bagi individu yang mengalami gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, pertama-tama dibantu untuk menerima konsep bahwa perasaan dan tingkah laku merupakan fungsi dari pikiran. Kesalahan berpikir (errors in logic) kemudian dieksplorasi, misalnya saat individu menyimpulkan bahwa ia tidak mampu melakukan semua hal dengan benar hanya karena kegagalan dalam satu hal saja (melakukan overgeneralisasi). Selain itu, terapis juga mencari asumsi atau skema dysfunctional yang mungkin mendasari pikiran dan perasaan individu tersebut, misalnya keyakinan individu bahwa setiap keputusan harus selalu benar.
Terapi Untuk Kepribadian Ambang (Borderline Personality)
Pada individu dengan kepribadian borderline, rasa percaya sulit diciptakan dan dijaga, sehingga mempengaruhi huubungan terapeutik. Individu cenderung mengidealkan dan menjelek-jelekkan terapis, meminta perhatian khusus pada satu waktu, memohon pengertian dan dukungan, tetapi tidak mau membahas topik-topik tertentu. Apabila tingkah laku individu sudah tidak dapat dikendalikan atau ketika ancaman bunuh diri tidak dapat diatasi lagi, maka sering kali individu tersebut perlu dirawat di rumah sakit.
Pada farmakoterapi bagi individu berkepribadian borderline, diberikan beberapa macam obat. Umumnya obat-obatan yang diberikan tersebut merupakan antidepresan dan antipsikotik. Berikut ini terdapat dua jenis terapi bagi individu yang berkepribadian borderline.
a) Object-Relations Psychoterapy
Terapi yang dilakukan bertujuan untuk memperkuat ego yang lemah, sehingga individu tidak lagi melakukan dikotomi. Selain itu, individu juga diberi saran konkret untuk bertingkah laku adaptif dan merawat individu di rumah sakit jika tingkah lakunya membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
b) Dialectical Behavior Therapy (DBT)
DBT merupakan pendekatan yang mengkombinasikan client-centered empathy dan penerimaan dengan menyelesaikan masalah secara kognitif-behavioral dan social-skills training. DBT mempunyai tiga tujuan utama, yaitu:
  1. Mengajari individu untuk mengatur dan mengendalikan tingkah laku dan emosi yang ekstrem. 
  2. Mengajari individu untuk menoleransi perasaan distress. 
  3. Mengajari individu belajar untuk mempercayai pikiran dan emosinya sendiri.
Istilah ”dialectic” mengacu pada sikap yang berlawanan, yaitu di mana terapis harus menerima individu borderline apa adanya sekaligus membantu individu tersebut untuk berubah. Istilah ”dialectic” juga mengacu pada kenyataan bahwa individu borderline tidak perlu membagi dunia secara dikotomi, tetapi dapat mencapai suatu sintetsis. Dengan kata lain, salah satu tujuan DBT adalah mengajari individu untuk memandang dunia secara dialektik, suatu pemahaman bahwa hidup terus berubah dan suatu hal tidak semuanya buruk atau semuanya baik.
Sedangkan aspek kognitif-behavioral dari DBT, baik yang dilakukan secara individual atau dalam kelompok, terdiri dari membantu individu belajar menyelesaikan masalah, membantu untuk memperoleh penyelesaian masalah yang lebih efektif dan dapat diterima secara sosial dan mengendalikan emosi, meningkatkan kemampuan interpersonal, dan mengendalikan amarah dan kecemasan.
Terapi Untuk Psychopathy
Kebanyakan ahli menyatakan bahwa membantu individu dengan kepribadian psychopathy untuk berubah merupakan hal yang sia-sia. Hal tersebut dikarenakan individu tidak dapat dan tidak termotivasi untuk membina hubungan yang jujur dan menumbuhkan kepercayaan pada terapis. Namun, pendapat tersebut ternyata tidak sesuai dengan hasil-hasil penelitian tentang psikopat.
Hasil penelitian membuktikan bahwa psikoterapi psikoanalitik sangat membantu dalam beberapa hal, seperti hubungan interpersonal yang lebih baik, peningkatan kapasitas dalam perasaan menyesal dan empati, mengurangi kebiasaan berbohong, terbebas dari masa percobaan, dan bertahan pada satu pekerjaan. Efek yang serupa juga dapat dilihat pada beberapa penelitian yang menggunakan teknik kognitif-behavioral. Semakin muda individu, maka semakin baik efek yang dihasilkan dari terapi.
Banyak penderita psychopathy yang dipenjara karena melakukan tindak kriminal. Namun sayangnya, sesuai dengan pendapat para kriminolog, sistem yang diterapkan di penjara lebih menyerupai sekolah kriminal daripada tempat di mana para psychopath dan pelaku tindak kriminal direhabilitasi. Bagaimanapun juga, terdapat bukti bahwa psikopat biasanya mulai hidup lebih baik di usia dewasa madya (40-an). Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan biologis, insight terhadap self-defeating (mengalahkan diri sendiri), atau merasa lelah dan tidak dapat melanjutkan hidup yang penuh dengan tipuan, bahkan kekerasan.
REFERENSI
Davidson, Gerald C., John M. Neale, & Ann M. Kring. (2004). Abnormal Psychology (9th edition). US: John Wiley & Sons, Inc.

Supratiknya, A. (1995). Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanisius

http://chatifanaima.blogspot.com/